Kamis, 10 September 2009

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Adanya KUH Dagang (Wetboek van Koophandel = WvK) disamping KUH Perdata (BW) sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, karena Hukum Dagang sebenarnya tidak lain dari Hukum Perdata. Perkataan "dagang" bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan pengertian perekonomian. Di berbagai negara modern, misalnya AS dan Swiss tidak terdapat suatu KUH Dagang tersendiri disamping KUH Perdata. Oleh karena itu sekarang terdapat suatu aliran untuk meleburkan KUH Dagang itu kedalam KUH Perdata.

Adanya pemisahan hukum dagang dari hukum perdata dalam perundang-undangan kita sekarang ini, hanya terbawa oleh sejarah saja, yaitu karena di dalam hukum Romawi pada saat itu belum terkenal Hukum Dagang sebagaimana yang terletak dalam KUH Dagang.

Hukum perdata dalam arti luas adalah keseluruhan hukum meliputi semua peraturan-peraturan hukum perdata baik yang tercantum dalam KUH Perdata maupun dalam KUH Dagang dan Undang-undang lainnya. Perkataan hukum perdata adakalanya dipakai dalam arti sempit, yaitu hanya hukum perdata yang terdapat dalam KUH Perdata saja.

Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata lazim dibagi atas 4 bagian, yaitu :

1. Hukum tentang diri seseorang (personenrecht) diatur dalam bab I dan II buku II serta buku IV bab IV KUH Perdata. Memuat peraturan-peraturan tentang : manusia sebagai subyek hukum; kecakapan untuk memiliki hak-hak; kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu; serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu, Domicili; Nama; Burgerlijk Stand (Pencatatan Sipil).

1. Hukum keluarga (familierecht) diatur dalam bab IV - XVIII buku I KUH Perdata.

Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : Perkawinan beserta hubungannya dalam lapangan kekayaan antara suami isteri; hubungan antara orangtua dan anak; Perwalian; Curatele (pengampuan); dan Perceraian.

2. Hukum kekayaan (vermogensrecht) diatur dalam bab I - IX dan XIX - XXI buku II serta bab I - XVIII buku III KUH Perdata. Mengatur hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.

3. Hukum warisan (erfrecht) diatur dalam bab XII - XVIII buku II KUH Perdata, mengatur hal-hal ihwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal dunia.

Pembagian KUH Perdata menurut sistematikanya :

1. Buku I, tentang Orang (van Personen); Pasal 1 - 498 ====> 18 bab;

2. Buku II, tentang Benda (van Zaken); Pasal 499 - 1232 ====> 21 bab;

3. Buku III, tentang Perikatan (van Verbintennissen); Pasal 1233 – 1864, 18 bab;

4. Buku IV tentang Pembuktian dan Daluarsa (van Bewijs en verjaring); Pasal 1865 - 1993; ====> 7 bab.

Buku I berisi hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga.

Buku II berisi hukum tentang perbendaan dan hukum waris.

Buku III berisi mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

Buku IV berisi hukum tentang alat-alat bukti dan akibat-akibat lewat waktu (daluarsa) terhadap hubungan hukum.

Hukum waris dimasukkan dalam buku II karena hukum waris sebenarnya mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu berupa benda-benda yang ditinggalkan dari seseorang yang meninggal dunia (Pasal 584 KUH Perdata).

Hukum kekayaan diatur dalam buku II dan buku III karena hukum kekayaan itu sebenarnya mengatur tentang kekayaan seseorang, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang berhubungan antara kekayaan dengan benda seseorang dalam mengadakan perikatan/perjanjian yang obyeknya adalah benda-benda pokok.

BERLAKUNYA KUH PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) DI INDONESIA

Tahun 1839, satu tahun sejak berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) di Belanda, Raja Belanda membentuk panitia yang diketuai oleh Mr. Paul Scholten seorang sarjana hukum Belanda, untuk memikirkan bagaimana caranya agar kodifikasi di negara Belanda dapat pula dipakai untuk daerah jajahan, yaitu Hindia Belanda (-baca: Indonesia-).

Setelah panitia Scholten ini bubar, Presiden Hooggerechtshof (HGH) atau MA di Hindia Belanda, waktu itu Mr. H.L. Wichers, ditugaskan membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memberlakukan Kitab Hukum yang baru itu, sambil memikirkan pasal-pasal yang mungkin masih perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut kemudian dengan Pengumuman Gubjen Hindia Belanda tanggal 3 Desember 1847, dinyatakan berlaku mulai pada 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Pemberlakuan tersebut berdasarkan azas konkordansi (concordantie beginsel) yang diatur dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) S. 1925 - 557, yang mengemukakan bahwa bagi setiap orang Eropah yang ada di Hindia Belanda diberlakukan hukum perdata yang berlaku di Belanda.

Berdasarkan S. 1847 - 23, BW (KUH Perdata) di Indonesia hanya berlaku terhadap :

a. Orang-orang Eropa, yang meliputi : orang Belanda; orang yang berasal dari Eropa lainnya; orang Jepang, AS, Kanada, Afrika Selatan, dan Australia beserta anak-anak mereka.

b. Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, yakni mereka yang pada saat BW berlaku memeluk agama Kristen.

c. Orang-orang Bumiputra turunan Eropa.

Kemudian berdasarkan S. 1917 - 12 (mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1917) kepada golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing, dengan sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW (dan KUH Dagang) baik sebagian maupun untuk seluruhnya. Berdasarkan azas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.

Dengan demikian anasir-anasir/unsur-unsur KUH Perdata Indonesia berasal dari :

ü hukum Romawi,

ü hukum Prancis kuno, dan

ü hukum Belanda kuno.

BW di negara Belanda sendiri sejak tahun 1838, telah beberapa kali mengalami perubahan dan saat ini BW yang berlaku di negara Belanda sendiri adalah BW yang baru (telah diperbaharui).

Pada zaman Jepang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 atau 2602 Pasal 3 disebutkan bahwa : "Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum, dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah bala tentara Jepang".

Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka berlakulah tatanan hukum negara RI, walaupun tatanan tersebut sebagian besar masih merupakan peninggalan Hindia Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan : "Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang ini". Kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Kemudian diikuti Pasal 192 Konstitusi RIS, dan Pasal 142 UUDS 1950.

BW yang berlaku di Indonesia sejak 1848 itu merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, karena itu sudah barang tentu dibuat berdasarkan azas-azas dan kepentingan Belanda sendiri. Apabila ada azas-azas dalam BW itu yang berbeda dengan asas dan kepentingan bangsa Indonesia sendiri, maka hal itu sudah sepantasnya.

Azas-azas dalam KUH Perdata yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia tersebut a.l.:

1. Adanya anggapan yang individualistis terhadap hak eigendoom (Pasal 570);

2. Adanya ketidakmampuan bertindak bagi wanita yang bersuami dalam lapangan hukum kekayaan (Pasal 108 & 110 jo 1330);

3. Adanya kebebasan untuk mengadakan kontrak (Pasal 1338);

4. Adanya asas monogami mutlak dalam perkawinan (Pasal 27);

5. Adanya sifat netral/sekuler/keduniawian pada hukum perdata (Pasal 26).

Manfaat mempelajari sejarah KUH Perdata (BW) adalah dengan mengetahui bila dan bagaimana cara diberlakukannya BW itu di Indonesia, dan bagaimana pula kedudukannya dalam tatanan hukum kita, kita akan dapat mengetahui latar belakang politik dan kepentingan Belanda menerapkan BW itu di Indonesia. Dengan demikian kita dapat menjawab pertanyaan apakah BW itu masih sesuai atau tidak dengan iklim negara kita yang merdeka.

KEDUDUKAN HUKUM KUH PERDATA DEWASA INI

BW (KUH Perdata) oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di Belanda dan diperlakukan pertama-tama bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.

Kemudian setelah kita merdeka, dan juga sebelumnya, BW itu dirasakan kurang sesuai dengan nilai-nilai atau unsur-unsur yang melekat pada kepriba-dian Indonesia. Kemudian timbul gagasan baru menganggap BW itu hanya sebagai pedoman. Gagasan ini diajukan oleh Menteri Kehakiman, Sahardjo, SH pada sidang Badan Perancang dari Lembaga Pembina Hukum Nasional bulan Mei 1962. Dengan gagasan ini, penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengenyampingkan beberapa pasal dari BW yang tidak sesuai.

Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan agar BW sebagai pedoman juga agar dihilangkan sama sekali dari bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang melainkan secara suatu pernyataan resmi dari pemerintah atau dari Mahkamah Agung. Ternyata gagasan tentang kedudukan KUH Perdata ini disetujui oleh MA dan juga oleh para sarjana, sehingga dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada seluruh Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia agar beberapa pasal tertentu dari KUH Perdata dianggap tidak berlaku lagi.

Adapun pasal-pasal KUH Perdata yang dianggap tidak berlaku berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tersebut adalah :

1. Pasal 108 dan 110 tentang kewenangan isteri melakukan perbuatan hukum dan menghadap di muka Pengadilan;

2. Pasal 284 ayat 3; mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak itu tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua WNI;

3. Pasal 1682; yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris. Dengan demikian penghibahan diantara semua WNI juga dapat dilakukan dengan akta hibah dibawah tangan;

4. Pasal 1579; yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, si pemilik dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, akan memakai sendiri barangnya. Saat ini dapat terjadi apabila pada waktu membentuk perjanjian sewa-menyewa telah disepakati;

5. Pasal 1238; yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan didahului dengan suatu penagihan tertulis, melainkan dapat dilakukan secara lisan.

6. Pasal 1460; menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan. Jadi risiko dalam jual beli ditangan pembeli. Dengan tidak berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang-barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak, yaitu si penjual dan si pembeli;

7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2; yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropah disatu pihak dan orang bukan Eropah dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan.

Bertolak dari pendapat dan uraian di atas, maka dewasa ini kedudukan KUH Perdata di Indonesia hanya merupakan rechtboek (buku hukum), bukan sebagai wetboek (buku Undang-undang). Oleh karenanya, berlakunya KUH Perdata hanya sebagai pedoman saja. Sehingga biasa juga dikatakan KUH Perdata itu hanya suatu ketentuan yang tidak tertulis tetapi tertulis. Walaupun kenyataannya guna mengatasi kevacuuman (mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUH Perdata itu secara a priori harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun apabila ditinjau secara yuridis formil, KUH Perdata masih tetap sebagai hukum positip karena sampai pada saat ini belum ada undang-undang dan peraturan resmi mencabutnya.

Saat ini ada UU yang mempengaruhi berlakunya KUH Perdata, yaitu a.l. :

1. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan " Buku Ke-II KUH Perdata dicabut, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UU ini".

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya isteri dapat bertindak secara hukum (Pasal 31 ayat 2); dewasa adalah mereka yang telah mencapai usia 18 tahun (Pasal 47 jo 50).

3. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan tidak ada diskriminasi dalam ketenagakerjaan

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan; menyatakan tidak berlaku peraturan hipotik terhadap hak atas tanah yang diatur dalam buku II KUH Perdata.

Dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 membawa konsekuensi berlakunya pasal-pasal KUH Perdata :

1. Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh, karena tidak mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Misalnya : Pasal 505, 509 - 518, 612, 613, 826, 827, 830 - 1130, 1131 - 1149, 1150 - 1160 KUH Perdata.

2. Ada pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal yang melulu mengatur mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Misalnya :

a. Pasal tentang benda tak bergerak yang hanya berhubungan dengan hak-hak atas tanah;

b. Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;

c. Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak;

d. Pasal 625 - 672, 673, 674 - 710, 711 - 719, 720 - 736, 737 - 755 KUH Perdata.

3. Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tidak berlaku lagi dan masih berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya.

Misalnya : - Pasal-pasal tentang benda umumnya;

- Pasal 503 - 505, 529 - 568, 570, 756, 818 KUH Perdata.

ISTILAH HUKUM dalam BAHASA BELANDA

1. ZAAKSGEVOLG / DROIT DE SUIT: yaitu mengikuti benda dimanapun dan dalam tangan siapapun benda itu berada

2. DROIT INVIOLABLE ET SACRE: yaitu hak yang tidak dapat diganggu gugat

3. VAGUE: kabur

4. DWINGEN; memaksa VERBAND: hubungan : hubungan erat

5. FEIT : perbuatan

6. OVERTRADING: pelanggaran

7. MISDRIFF: kejahatan

8. DADER: pelaku tindak pidana

9. NIET ON VARKELIJK VERKLAARD: Gugatan tidak dapat diterima

10. A QUO:

11. IPSO JURE: demi hukum / berdasarkan hukum.

12. EX AEQUO ET BONO: putusan yang seadil-adilnya

13. DADER / DOER : orang yang melakukan delik

14. DOENPLEGER / MANUS / DOMINA : orang yang menyuruh melakukan

15. MEDEDADER/MADEPLEGEN : Orang yang turut melakukan

16. UIT LOKER : orang yang sengaja membujuk

17. MEDEPLICHTIGHEID : membantu

18. NOODWEER : dalam keadaan terpaksa

19. OVERMACHT: keadaan yang memaksa (tidak bias dielakkan).

20. asas proporsionalitas: harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar.

21. VERKAPTE VRIJPRAAK : putusan bebas tidak murni

22. POINT DE IBTERN POINT ATIM : tidak ada sengketa tidak ada perkara

23. LAMBROSO theory : character of crime

24. NOTOIR FEIT : hal yang telah diketahui dan dinyakini kebenarannya oleh umum tidak perlu dibuktikan lagi.

25. NOELA POENA SINE LEGI PRAVIA POENALE : tidak ada hukuman yang tanpa didasari oleh suatu ketentuan peraturan yang telah ada sebelumnya. (Pasal 1 (1) KUHP)

26. OVERMACH : kejadian/keadaan yang memaksa

27. MIRANDA RULE : hak seorang tersangka untuk mendapatkan penasehat hukum dalam perkaranya.

28. SAKSI VERBALISAN : saksi yang melakukan pemeriksaan ditingkat penyidikan.

29. ONSPLITBAR’ AVEU : suatu pengakuan tidak dapat dipisahkan-pisahkan.

30. INTERVENSI : masuknya pihak ketiga yang merasa mempunyai hak atau kepentingan untuk turut serta dalam perkara yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan.

31. VOEGING : menyertai (ikut salah satu pihak)

32. TUSSENKOMST : menengahi (tidak memihak)

33. VRIJWARING : penanggungan / pembelaan (atas permintaan biasanya tergugat)

34. DERDEN VERZETE : perlawanan pihak ketiga yang merasa mempunyai hak dan kepentingan, yang secara nyata-nyata telah dirugikan oleh karena adanya suatu putusan pengadilan, dengan cara menggugat para pihak yang berperkara (gugatan biasa)..dapat menangguhkan eksekusi hanya jika diperintahkan oleh KPN

35. NIET ON VARKELIJK VERKLAARD : gugatan / tuntutan tidak diterima

36. KAUKUS : pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak dalam proses mediasi, tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.

37. UIT VOOR BAR BIJ VOOR RAAD : putusan serta merta, putusan yang diputus sebelum putusan akhir, yang dapat dilaksanakan dahulu meskipuyn belum berkekuatan hukum tetap.

38. CONSERVATOIR BESLAG : sita jaminan terhadap barang bergerak / tidak bergerak milik tergugat

39. REVINDICATOIR BESLAG : sita terhadap barang bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat.

40. PACTUM DE COMPROMITENDO : klausul penyelesaian arbitrase yang dibuat sebelumnya.

41. AKTA COMPROMI : klausul yang dibuat setelah timbul permasalahan.

42. RES JUDIKATA PRO VERITATE HABITUR : putusan hakim dianggap benar selama belum dibuktikan atau putusan sebaliknya.

43. UNUS TESTIS NULUS TESTIS : satu orang saksi bukan merupakan (saksi) alat bukti (min 2 org). 1866- 1895 KUHPerdata.

44. SUMPAH DECISOIR : sumpah pemutus/ akhiri sengketa / yang diminta oleh pihak satunya terhadap pihak yang lain agar diucapkan, untuk menggantungjan putusan perkara padanya (KUHPerdata 1929).

45. DADING : perdamaian.

46. AUDI ET ALTEREM PARTEM : hakim harus mendengarkan keterangan dari para pihak.

47. ACTOR SEQUITUR FORUM REI : gugaatan harus dialamatkan pada alamat tergugat.

48. ACTOR SEQUITUR FORUM SITEI : gugatan haarus dialamatkan pada alamat di mana benda tidak bergerak tersebut berada.

49. FIAT JUSTISIA RUAT COELUM : keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh.

50. SANS PROJUDICE : surat yang tidak dapat dijadikan alat bukti, dibuka, dalam persidangan.

51. HAK RETENSI : hak untuk menahan dokumen/berkas klien oleh ADVOKAT yang tidak membayar / melunasi honorarium yang telah disepakati.

52. PREROGASI : mengajukan suatu sengketa berdasarkan persetujuan / kesepakatan para pihak kepada hakim tingkat pengadilan yang lebih tinggi, yang seharusnya tidak berwenang menangani perkara tersebut ( ac.perdata)

53. MUTSATIS MUTANDIS : diakui / sah dengan perubahan-perubahan yang ada.

54. PACTA SUNT SERVANDA : perjanjian merupakan sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (1338 KUHPerdata “ semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya….”

55. VRISPRAAK : bebas/tidak terbukti secara sah dan menyakinkan

56. ONSLAG : lepas dari segala tuntutan hukum

57. NEGATIVE WETELIJK : (KUHAP) pembuktian minimal 2 alat bukti bukti ditambah keyakinan hakim.

58. SAKSI ADE CHARGE : saksi yang menguntungkan terdakwa.

59. SAKSI A CHARGE : saksi yang memberatkan terdakwa.

60. ISBAT NIKAH : pengesahan suatu pernikahan, adanya pernikahan dalam rangka perceraian, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawainan, adanya pernikahan sebelum disahkannya UU no. 1 tahun 1974, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan dalam perkawinan sesuai dengan UU Perkawinan UU no 1 Tahun 1974. Permohonan isbath nikah tersebut dapat dilakukan oleh ; suami, istri, anak-anak dari suami istri tersebut, pihak ketiga yang berkepentingan, wali nikah.

61. GUGATAN HADLANAH : gugatan pemeliharaan anak ( kasus perceraian)

62. NADZIR : pengelola benda wakaf

63. SUMPAH LIAN : inisiatif suami karena tuduh istri selingkuh dan ba’da duqul (bersetubuh dengan laki-laki lain).

64. HAKAM : pihak penengah / pendamai antara suami istri yang ingin bercerai karena SIQOC, ditunjuk oleh hakim, biasanya dari kerabat suami atau istri.

65. AL QADAU, AL GA’IB : putusan verstek.

66. MU’ AN AN MU’ SAL SAL : testimonium de auditu

67. PRAESUMTIO IUS TAE CAUSA / ERGA OMNES : KTUN masih dianggap sah, selama blm ada suatu ketentuan yang menyatakan sebaliknya.

68. SELF OBIDENCE/ RECPECT : kesadaran B/P TUN untuk melaksanakan putusan PTUN.

69. ULTRA PETITA : putusan yang melebihi tuntutan ( Ac. TUN).

70. DISMISAL PROSEDUR : pemeriksaan awal / rapat permusyawarahan.

71. DWANGSOM : uang paksa.

72. RECHTMATHIGEID : segi penerapan hukum.

73. DOCHMATIGHEID : segi kebijakan B/P TUN.

74. FREIZE ERMESSEN : tindakan responsive/tanggap dari B/P TUN (publik) untuk kemakmuran masyarakat/ umum.

75. INVERSO : kedua belah pihak.

76. VEXATOIR : tindakan yang sia-sia / tidak mengenai sasaran.

77. KOOPTASI : pemilihan anggota baru dari suatu badan musyawarah oleh anggota yang telah ada.

78. DIKOTOMI : pembagian dua kelompok yang saling bertentangan.

79. ANOMALI : penyimpangan / kelainan.

80. REIMBURSMENT : penggantian kontrak, untuk pengeluaran uang, pengembalian.

81. DISKREDIT : menjelek-jelekkan / memperlemah.

82. RAISON D’ ETRE : alasan utama.

83. DIVESTASI : pelepasan / pengurangan / pembebasan modal / saham dari perusahaan.

84. LEX CERTA : ketentuan dalam perundang-undangan tidak dapat di artikan lain.

85. IN CASU : dalam hal ini.

86. IN BORGH : jaminan.

87. IN COGNITO : penyamaran.

88. IN COHEREN : tidak teratur.

89. SURAT RELAAS : bukti pemberitahuan sidang di pengadilan.

90. NUSYUZ : (ISTRI) meninggalkan kediaman bersama (rumah) tanpa ijin suami.

91. KONTANTE HANDELING-SIMULTANEUSTRANSFER : ketentuan hukun adat dalam jualbeli tanah yang harus secara tunai dan jelas.

92. PUTUSAN MA. tanggal 29 maret 1982 no. 1230 K/Sip/1980 (pembeli yang beritikat baik yang dilindungi UU.

93. UBI SOCIETAS IBI IUS : dimana ada masyarakat disana terdapat hukum

94. POWER TENT TO CORRUPT: kekuasaan cenderung bersifat korupsi. (LORD ACKTON)

95. LAW IS A TOOL OF SOCIAL SOCIAL ENGINEERING : hukum sebagai alat dalam mewujudkan perubahan-perubahan sosial (ROSCOE POUND).

96. VOLLE EIGENAAR: pemilik penuh (dari benda jaminan)